Minggu, 24 November 2013

PETANI CERDAS, PAHLAWAN MASA KINI **

Tanggal 10 November merupakan hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia yang kemudian diperingati sebagai hari pahlawan. Sebuah peringatan yang dilakukan untuk mengenang jasa-jasa para pejuang bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Para pejuang rela mengorbankan jiwa raga, harta benda demi membela dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan bangsa lain.

Jika mencermati perjuangan para pahlawan, betapa mulianya maksud dan tujuan mereka yang menginginkan kemerdekaan dari tangan penjajah. Sebagaimana termaktub di dalam pembukaan UUD 1945, cita-cita yang ingin diwujudkan oleh para pahlawan bangsa adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan perdamaian dunia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Suatu cita-cita luhur yang membutuhkan kerja keras serta pengorbanan dalam mewujudkannya.

Berkenaan dengan Pahlawan, ada beberapa definisi yang menjabarkan tentang kata pahlawan. (1) orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. (2) pejuang yang gagah berani (KBBI, 1993). Namun secara lebih luas, makna pahlawan adalah seseorang yang berbakti kepada masyarakat, negara, bangsa dan atau umat manusia tanpa menyerah dan rela berkorban demi tercapainya tujuan dengan dilandasi oleh sikap tanpa pamrih.

Berdasarkan definisi di atas maka pahlawan tak hanya orang yang berjuang melawan penjajahan dari bangsa lain dengan cara bertempur di medan perang, namun siapa saja yang telah mendarmabaktikan hidupnya untuk kemanusiaan sesuai dengan bidang dan perannya. Jika menghayati lebih lanjut akan cita-cita para pahlawan yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 45, maka pernyataan yang mesti kita tanamkan dalam diri kita sebagai warga negara Indonesia adalah “setiap orang harus menjadi pahlawan”.

Sekarang Indonesia sudah merdeka dari penjajahan bangsa lain. Hal ini apakah berarti bahwa perjuangan Bangsa Indonesia sudah usai? Tentu saja tidak. Cita-cita Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 belumlah tercapai sempurna. Bangsa Indonesia masih terjajah, yaitu oleh kemiskinan dan kebodohan. Sehingga, perjuangan masih harus terus dilanjutkan.

Kemiskinan merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia, menunjukkan bahwa kesejahteraan belum merata. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin mencapai 28,07 juta orang (11,37%). Angka kemiskinan ini melebihi target yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 dimana angka kemiskinan ditetapkan sebesar 10,5%. Pada akhir tahun 2014, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan mencapai 8-10% (TNPPK, 2010). Untuk mencapai target ini, perlu upaya serius dari berbagai pihak.

Dari total penduduk miskin di Indonesia tersebut, sebagian besar berada di wilayah pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Menurut data BPS (Maret,2013), sebaran jumlah penduduk miskin diperkotaan sebanyak 10,33 juta orang dan dipedesaan sebanyak 17,74 juta orang. Dari segi pekerjaan, penduduk berusia 15 tahun ke atas memiliki pekerjaan utama di bidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan dengan persentase terbesar yaitu 35,05% bila dibandingkan dengan bidang pekerjaan industri, perdagangan, pertambangan, jasa kemasyarakatan dan lainnya (BPS,Februari, 2013).

 Kemiskinan erat kaitannya dengan kebodohan. Masyarakat miskin akan cenderung tertinggal dalam kesempatan mendapatkan pendidikan. Padahal, pendidikan sangatlah penting untuk perkembangan seseorang. Orang yang berpendidikan tentu akan memiliki kecerdasan yang lebih baik dari pada orang yang tidak berpendidikan. Individu-individu yang cerdas akan membentuk tatanan masyarakat yang cerdas. Dari sinilah akan lahir bangsa yang cerdas.

Dalam upaya meningkatkan kecerdasan masyarakat, pemerintah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun. Berdasarkan UUD 1945 amandemen pasal 31, penyelenggaraan pendidikan mendapat alokasi anggaran dana minimal 20% dari APBN dan APBD. Oleh karena itu, pendidikan dasar 9 tahun tidak memungut biaya dari orang tua siswa alias gratis. Namun faktanya, anak-anak dari keluarga miskin khususnya petani belum sepenuhnya dapat menikmati pendidikan yang layak. Masih banyak didapati anak petani yang tidak bersekolah dan putus sekolah. Penyebabnya secara umum karena tingkat ekonomi dan pola pikir masih rendah. Pada akhirnya, pendidikan anak tidak menjadi prioritas bagi orang tua. Keadaan ini dipicu pula oleh kondisi eksternal di masyarakat, seperti mahalnya biaya pendidikan dan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi, sementara pendapatan mereka pas-pasan. Jangankan untuk membayar biaya pendidikan, untuk makan sehari-hari pun mereka kesulitan. Terlebih lagi nilai tukar hasil pertanian rendah dan itupun masih diombang-ambingkan oleh harga.

Oleh karenanya, tidak mengherankan bila ternyata masih ada penduduk Indonesia pada usia sekolah namun tidak bersekolah. Data BPS menyebutkan bahwa angka partisipasi sekolah penduduk usia 13–15 tahun sebesar 89,52%, usia 16-18 tahun 60,87%, dan usia 19-24 tahun hanya 15,73%. Angka partisipasi sekolah untuk jenjang pendidikan dasar relatif tinggi. Untuk jenjang pendidikan menengah partisipasinya sudah mulai menurun. Kemudian, untuk penduduk usia 19-24 tahun angka partisipasi sekolah sangatlah rendah. Pada hal, usia ini adalah masa seseorang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Ini merupakan fakta yang menunjukkan betapa minimnya penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi.

Tingginya angka kemiskinan di pedesaan, yang mayoritas penduduknya adalah petani dan rendahnya angka partisipasi pada pendidikan tinggi menunjukan bahwa kemiskinan dan kebodohan menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Oleh karena itu, jelas bahwa sampai sekarang masih diperlukan pahlawan-pahlawan bangsa yang siap berjuang tanpa lelah. Pahlawan yang bersedia berkorban jiwa dan raga untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan terutama di daerah pedesaan. Siapakah mereka?

Berdasarkan data sebaran penduduk miskin dipedesaan dan persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian sangat dominan diantara yang lain, maka sosok pahlawan yang sangat dibutuhkan bangsa saat ini adalah yang bersedia mengabdikan dirinya pada sektor pertanian. Sehingga, ada dua jenis orang yang layak diberi gelar pahlawan masa kini. Mereka adalah para petani cerdas, yang memberikan kontribusi besar pada bangsa sesuai dengan perjuangannya masing-masing.

Siapakah petani cerdas itu? Pertama, para petani miskin di pedesaan yang berhasil menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Mereka disebut petani cerdas, karena memiliki integritas tinggi terhadap keluarganya dan memiliki cita-cita jangka panjang yang mulia. Mereka bersedia mengorbankan jiwa dan raga, bekerja seharian penuh di ladang, demi mencukupi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan putra putrinya. Mereka adalah petani gigih yang memiliki motivasi tinggi untuk mengangkat derajat keluarganya dengan menyekolahkan putra-putri mereka untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak semasa hidupnya, namun mereka menginginkan agar putra-putrinya tidak bodoh dan miskin seperti mereka. Tujuan jangka panjangnya sangat besar, meskipun sederhana. Suatu hari nanti, jika putra-putrinya telah berhasil, maka perekonomian keluarganya dapat diperbaiki sehingga kesejahteraan keluarga dapat ditingkatkan. Bayangkan jika setiap petani memiliki fikiran seperti ini, maka akan terlahir orang-orang sukses yang selanjutnya akan mengangkat harkat dan martabat orang miskin melalui peningkatan kesejahteraan hidup. Orang-orang seperti inilah sebenarnya yang berjasa bagi Bangsa Indonesia. Mereka adalah sosok yang perlu diteladani.

Kemudian, selain berjuang mensejahterakan diri dan keluarganya, para petani gigih dari desa ini juga telah memberikan sumbangsih untuk pemerintah dan bangsa. Usaha bertani tersebut, selain untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, mereka juga memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara luas. Seandainya tidak ada tangan-tangan kasar petani yang bersedia menanam padi dan palawija di ladang, apa yang akan dikonsumsi oleh masyarakat yang bermata pencaharian selain petani? Apakah pemerintah akan terus-menerus mengimpor kebutuhan pangan dari negara lain? Jika hal ini terjadi, maka akan semakin miskinlah negara kita. Kondisi ini dalam jangka waktu panjang akan dapat memicu timbulnya penjajahan dari bangsa lain secara tidak langsung.

Kita sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang turut menikmati hasil kerja keras petani, mungkin tak terfikirkan bahwa petani adalah pahlawan bangsa. Merekalah yang telah memberikan hasil jerih payahnya untuk keberlangsungan hidup orang banyak. Kita seringkali tidak menyadari hal itu. Padahal di Jepang, negara yang telah maju perkembangan teknologinyapun, anak-anak sejak dini dididik untuk menghargai petani. Anak-anak sekolah taman kanak-kanak setiap hendak makan diajarkan supaya memulai dengan mengucapkan ”terimakasihku pada petani yang telah menyediakan makanan ini”. Ini mendidik anak untuk menghargai jerih payah petani dalam menghasilkan sesuap nasi yang perlu perjuangan dengan tetesan keringat dalam waktu panjang. Untuk itu, mestinya pemerintah perlu memberikan perhatian serius kepada para petani. Pendampingan secara serius dan berkesinambungan terhadap para petani ini adalah salah satu bentuk terimakasih pemerintah terhadap pahlawan masa kini.

Petani cerdas yang kedua adalah sarjana pertanian yang bersedia mengabdikan diri di kampung halamannya guna membantu para petani dipedesaan dalam memajukan sektor pertanian. Sektor pertanian adalah bagian penting dari kemajuan suatu bangsa. Sektor pertanian memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karenanya, peran sarjana pertanian sangat dibutuhkan. Bahkan, sudah seharusnya menjadi sebuah idealisme bagi sarjana pertanian untuk membangun pertanian. Sebagaimana yang disebutkan oleh Gunawan, R.H (2006), sejak menjadi mahasiswa, sarjana pertanian memiliki tanggungjawab untuk dapat menyelesaikan masalah pertanian dengan ilmu yang dimilikinya, membantu percepatan pembangunan pertanian dengan melakukan pendampingan petani, image building of agriculture dan melakukan advokasi-advokasi pertanian yang bisa membantu mensejahterakan petani. Dengan peran-peran itulah pertanian Indonesia akan bangkit dari tangan-tangan pembaharu yakni Sarjana Pertanian Indonesia.

 Namun kenyataannya saat ini, banyak sarjana pertanian yang kehilangan orientasi, sehingga mereka tak mampu menjaga idealismenya untuk memajukan sektor pertanian. Mereka lebih memilih untuk bekerja pada bidang lain, misalnya perbankan, industri, dan lainnya, daripada kembali ke kampung halaman membantu para petani dengan melaksanakan perannya di bidang pertanian. Bahkan, masih ada sarjana pertanian yang merasa menyesal telah memilih jurusan pertanian. Ada juga yang masih mempertanyakan kontribusi apa yang bisa diberikan pada negara melalui ilmu pertaniannya. Ironis sekali keadaan ini. Padahal, uluran tangan para ilmuwan pertanian ini sangat dibutuhkan oleh para petani tradisional di desa-desa.

Oleh karena itu, jika saat ini ada sarjana pertanian yang dengan semangatnya kembali ke kampung untuk membangun pertanian dengan ilmu yang telah dimilikinya, patut diberi penghargaan. Dia adalah teladan bagi bangsa ini. Orang seperti ini, sangat diperlukan untuk bekerjasama bahu membahu dengan petani tradisional yang tidak memiliki kesempatan untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Sarjana petanian yang seperti inilah yang dibutuhkan negeri ini. Dia adalah seorang pahlawan masa kini.

Keberhasilan cita-cita bangsa dapat diperoleh dari keberhasilan individu-individu dan keberhasilan setiap keluarga. Jika para petani di pedesaan mampu memiliki visi jangka panjang seperti diuraikan di atas dan didukung pula oleh peran sarjana pertanian yang bersedia mendampingi mereka, maka cita-cita Bangsa Indonesia akan mudah terwujud. Semakin banyak petani gigih dan sarjana pertanian yang memiliki perhatian serius untuk melakukan pengembangan di sektor pertanian, maka akan semakin sejahtera bangsa ini. Pemerintah tidak perlu lagi melakukan impor bahan pangan. Sehingga, alokasi dana untuk mengimpor bahan pangan dapat dialihkan untuk membeli produk pertanian dari masyarakat petani dalam negeri. Hal ini akan semakin meningkatkan taraf hidup masyarakat petani di pedesaan. Dengan demikian, belenggu kemiskinan dan kebodohan akan dapat segera dihapuskan.

Perjuangan Bangsa Indonesia tidak akan usai selagi kehidupan masih berlangsung. Untuk itu, para pahlawan akan selalu diperlukan sepanjang zaman. Cita-cita pahlawan zaman dulu telah tercapai apabila tingkat kemiskinan dan kebodohan masyarakat Indonesia sudah mendekati 0%. Apakah hal ini mungkin? Tentu saja. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Untuk itu, hendaknya setiap kita sanggup menjadi pahlawan masa kini, seperti para petani dan sarjana pertanian yang gagah berani. []

** Telah dimuat di Tabloid Inspirasi Vol 4, No. 80, 10 Nopember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar