Minggu, 18 Maret 2012

OJEK PAYUNG

Kemarin sore, aku pulang dari kampus kehujanan. Lalu, memanggil anak tukang ojek payung untuk mengantarku pulang ke kost. Anak itu, berbaju basah dan terlihat kedinginan. Namun, dia merelakan payungnya dipakai oleh para penyewa demi selembar atau dua lembar uang ribuan.

Sebenarnya aku tak tega melihatnya kehujanan seperti itu. Ingin sekali aku mengajaknya berjalan bersama di bawah payungnya itu. Namun, aku berdua dengan temanku, sehingga payungnya tidak muat untuk bertiga. Untunglah, anak-anak tukang ojek payung memang sudah terbiasa berhujan-hujanan karena itulah pekerjaannya. Mereka tak lagi takut masuk angin, apalagi hanya sekedar basah. Tidak seperti diriku. Orang yang sudah dewasa begini, yang mestinya kekebalan tubuhnya lebih kuat dibandingkan anak seumuran mereka, sangat takut basah dan khawatir akan terserang flu karena kehujanan. Aku dan juga para penyewa ojek payung yang lain, lebih tega membiarkan anak-anak kecil itu basah kuyup dengan memberinya uang seribu atau duaribu rupiah, demi menyelamatkan diri dari serangan air hujan.

Setelah temanku naik angkot untuk pulang ke rumahnya, aku sendirian memakai payung sewaan itu. Kost ku masih agak jauh. Maka, ku ajak anak pemilik payung ini untuk berjalan bersamaku di bawah payung penjemput rejekinya ini. Meskipun bajunya sudah basah kuyup, namun akan sedikit lebih baik jika dia tak kehujanan selama mengantarku pulang.

Sambil berjalan, aku mengajaknya mengobrol. Aku tertarik untuk mengetahui siapa anak ini. Kuluncurkan beberapa pertanyaan terkait identitasnya. Diapun menjawab semua pertanyaanku sambil mendekapkan tangannya ke tubuh yang kedinginan itu.

Aku agak terperangah saat aku mendengar jawaban atas pertanyaanku : Sekolahnya kelas berapa, dek? Dia menjawab, Tidak sekolah lagi. Sudah berhenti. Lalu, aku semakin tertarik untuk bertanya lebih lanjut mengenai alasan kenapa berhenti sekolah. Dia mengatakan bahwa, tidak punya uang untuk membeli LKS.

Aku berfikir, benarkah yang diucapkan oleh anak ini? Bukankah anak sekolah dasar mendapat pendidikan gratis? Berarti, sekolahnya sudah tak perlu membayar lagi. Hanya tinggal membeli buku LKS saja tak mampu. Benarkah demikian?? Berapakah rupanya harga LKS itu? Setahuku, LKS itu tak lebih dari sepuluh ribu rupiah untuk masing-masing pelajaran. Sehingga, jika ada enam pelajaran maka maksimal para murid mesti harus membayar enam puluh ribu rupiah untuk membeli LKS per semester. Nah, apakah selama enam bulan sekali, orang tua anak ini tak jua mampu menyisihkan uang enampuluh ribu rupiah?? Sungguh mengenaskan.

Karena rasa tak percayaku, aku mengorek kembali mengenai alasannya berhenti sekolah. “Kau berhenti sekolah dengan sendirinya karena tak mampu membeli LKS atau dikeluarkan disekolah karena kau nakal?” Sejak aku melihat kehidupan anak-anak jalanan di kota ini, aku menjadi gampang curiga. Apakah anak-anak seperti ini benar-benar anak yang baik atau tidak. Karena, aku tidak suka dengan mereka yang berkelakuan tidak baik, seperti kebanyakan anak jalanan yang lain.  
Dia menjawab, “Tidak.., saya tidak nakal”. Aku masih belum yakin, sehingga bertanya kembali. “Atau, kau sendiri memang tidak punya keinginan bersekolah?” Dia menjawab, “Tidak begitu..”
Aku berhenti bertanya tentang hal itu. Aku berfikir, terserahlah apa alasannya. Yang jelas, aku ingin dia punya keinginan bersekolah kembali. Mau jadi apa ketika dewasa nanti jika di zaman sekarang dia tamat SD pun tidak.

Perjalanan menuju kost ku sudah hampir tiba. Sebenarnya, masih banyak yang ingin aku ketahui dari anak ini. Tapi tak ada waktu lagi. Sehingga, aku hanya menyampaikan sedikit obrolan penutup yang semoga saja berguna untuknya. Aku menyarankan padanya untuk kembali bersekolah. “Bersekolahlah kembali. Kalau orang tuamu tak ada biaya untuk keperluan sekolahmu, kau mesti mengumpulkan uang hasil ojek payung ini untuk membeli LKS. Jadilah anak yang baik dan pintar, supaya kau mendapatkan kemudahan dalam hidupmu.” Lalu aku memberikan uang sewa payung. Kali ini, dia kubayar lebih dari biasanya yang pernah kuberikan pada pengojek payung yang lain. Dan dia mengucapkan, Iya, bu. Terimakasih bu. Permisi..”
 
Setelah masuk kamar kost, aku masih berfikir tentangnya. Benarkah apa yang disampaikannya itu? Dia tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, melainkan sama neneknya. Kenapa demikian? Dia sendiri tidak tahu. Sepengetahuannya, sejak kecil, dia sudah tinggal bersama neneknya. Ayahnya seorang kuli bangunan dan ibunya berjualan kantong. Seperti apa kantong yang dijual ibunya itu, aku tak sempat menanyakannya lebih lanjut. Karena, saat bertanya itu tadi kami sedang menyebrangi jalan raya. Jadi harus konsentrasi juga untuk berhati-hati.

Aku teringat cerpen kompas yang pernah kubaca setahun yang lalu. Cerpennya mengisahkan seorang anak tukang ojek payung yang menjadi korban penindasan teman sejawatnya. Dari situlah aku mengetahui bahwa diantara sekian banyak anak pengojek payung pasti masih ada yang baik dan benar-benar bekerja karena membutuhkan uang untuk membantu keluarganya. Dan bisa jadi, anak yang tadi adalah salah satu dari pengojek payung yang benar-benar baik.

Semoga pertemuanku dengan pengojek payung tadi tidak sia-sia. Aku mendapat hikmah dari pertemuan ini. Ternyata, masih saja ada anak yang tidak bersekolah di zaman sekarang. Bukankah pendidikan merupakan salah satu factor yang berpengaruh pada kemiskinan dan tindak kejahatan..???  [Tuanputrie]

2 komentar:

  1. di Kampus saya juga begitu . . Banyak ojek payungnya :D Mereka masih berusia belasan tahun. Kata mereka duit itu buat beli buku sama jajan.
    Jadi ngiri saya, pengen maen ujan2an kayak mereka.. hahha

    Btw. salam kenal :D

    BalasHapus